Tulisan
oleh: Edi Dwi Efendi
Sumber: Republika
Pemerintah dan Bank Indonesia sepakat untuk melanjutkan Tight Money Policy
karena kondisi domestik yang belum positif. Kesepakatan ini menurut Anwar
Nasution merupakan bagian dari stabilisasi moneter dan fiskal di saat krisis
sekarang. Nilai tukar rupiah terhadap dolar masih terus tertekan dan berada
pada kisaran Rp 11.000 an per US dolar.
Sementara di pasar saham kondisinya tidak jauh berbeda berjalan paralel dengan
kondisi pasar uang. IHSG juga masih tertekan pada kisaran 370-an. Dua indikator
utama ekonomi tersebut menunjukkan secara cukup meyakinkan bahwa optimisme
pelaku ekonomi (investor) sudah mencapai titik yang sangat rendah.
Capital flight kembali menjadi topik yang menarik bagi pelaku dan pemerhati
ekonomi. Semua fenomena tersebut disebabkan baik faktor ekonomi maupun non
ekonomi, sehingga investor cenderung menghindari risiko yang tidak dapat
dikalkulasikan. Ketidaksamaan pandangan antara pemerintah dengan IMF, yang
berbuntut belum dapat dicairkannya pinjaman senilai 400 juta USD juga merupakan
salah satu faktor terpenting bagi investor untuk mengambil keputusan-keputusan
ekonomi.
Tingginya bunga SBI yang telah mencapai angka 16,26% disebut-sebut sebagai
ancaman bagi perbankan. Negative spread dan rekapitalisasi perbankan tahap 2
kembali ramai dibicarakan. Lalu bagaimana dengan bank syariah, model perbankan
yang disebut-sebut dapat luput dari negatif spread, sehingga diklaim oleh para
pelakunya sebagai bank yang tidak volatile terhadap fluktuasi suku bunga?
Secara makro, kondisi ini bagi bank syariah tidak menguntungkan sebagaimana
bank konvensional. Apalagi kondisi sebagian besar masyarakat yang masih
interest minded (sensitive terhadap fluktuasi tingkat suku bunga). Bank syariah
pun bisa jadi juga menghadapi krisis likuiditas. Penghimpunan dana pihak ketiga
(masyarakat) menjadi masalah tersendiri.
Ditinjau dari sistem yang digunakan, terdapat perbedaan yang mendasar antara
bank syariah dengan bank nonsyariah. Apabila pada bank non syariah dalam
operasinya berdasar pada harga dana (cost of fund) untuk menentukan harga
kredit (kredit pricing), pada bank syariah berlaku sebaliknya yaitu real return
yang diperoleh dari pembiayaan (kredit) yang dikucurkan akan menentukan
besarnya return (bagi hasil) yang akan diberikan kepada nasabah penabung.
Sehingga nasabah dana bank nonsyariah akan dapat memperoleh return yang relatif
tetap dan telah dipatok di depan, sementara return bank syariah berkorelasi
langsung (sangat tergantung) dengan return bank yang berasal dari pembiayaan.
Apabila rupiah masih terus tertekan dan bunga SBI menjadi instrumen utama BI
untuk mendongkrak nilai rupiah, maka dikhawatirkan akan terjadi fund flight
dari bank syariah ke bank nonsyariah. Ini sangat mungkin terjadi bagi nasabah
bank syariah yang berada pada tahap sedang mencoba produk dana bank syariah dan
bukannya emotional customer -- yang memang ingin hanya menaruh dananya di bank
syariah dan relatif tidak sensitif terhadap fluktuasi suku bunga di pasaran.
Perjanjian pembiayaan (kredit) antara bank syariah dan nasabahnya, dari sisi
margin (transaksi jual beli) dan nisbah bagi hasil (transaksi partnership)
tidak memungkinkan untuk diubah mengikuti perkembangan suku bunga di pasaran
layaknya bank nonsyariah. Dengan demikian penghasilan dari pembiayaan yang
telah dikucurkan akan cenderung tetap seusai perjanjian yang telah disepakati
antara bank dan nasabah.
Apalagi bila portofolio pembiayaan didominasi oleh pembiayaan konsumtif dan
investasi dengan skema jual beli (murabahah) yang pada umumnya berjangka waktu
panjang dan dengan margin yang tetap. Ironisnya justru pembiayaan jenis inilah
yang sampai saat ini masih mendominasi pembiayaan di bank-bank syariah,
sehingga hampir bisa dipastikan return bank syariah sebagian besar relatif
tetap.
Saat ini return yang didapat oleh nasabah dana bank syariah bagaimanapun masih
lebih kecil dari return bank nonsyariah, sehingga bagi rational customer yang
telah menjadi nasabah bank syariah ada kemungkinan untuk terbang ke bank
nonsyariah yang menawarkan bunga yang lebih tinggi dibanding return yang
diterima dari bank syariah. Potential customer yang rasional dan belum berbank
di bank syariah pun akan sangat sulit untuk ditarik menjadi nasabah bank
syariah, karena pertimbangan return. Ini belum lagi apabila dilihat dari
feature produk pendanaan bank-bank syariah masih jauh tertinggal dibanding
bank-bank nonsyariah.
Ancaman terhadap produk funding bank syariah ini menuntut manajemen bank-bank
syariah untuk mencari jalan keluar, yang lebih kepada masalah strategis. Target
dana yang dapat dihimpun ataupun pembiayaan/kredit yang dapat dikucurkan,
tidaklah harus dilakukan dengan strategi dan serangkaian program pemasaran yang
terkesan bertempur secara frontal dengan bank-bank lain yang telah establish.
Apalagi secara psikografis terdapat pembeda yang jelas antara emotional
customer yang lebih mengharap emotional benefit dan rational customer yang
lebih menuntut functional benetif, terutama untuk nasabah dana. Akan lebih
berbahaya lagi apabila bank syariah yang total asset-nya masih sangat kecil
(kurang dari Rp 2 triliun - bandingkan dari total aset perbankan nasional
sebesar Rp 995 triliun per Februari 2001) berlaku seolah-olah sebagai bank
besar dengan menerapkan serangkaian strategi dan program pemasaran yang memfoto
kopi habis strategi dan program pemasaran serupa dari bank-bank besar lain.
Di sisi lain produk pembiayaan perlu mendapatkan perhatian khusus terutama
keseimbangan portofolio antara sektor produktif dan konsumtif dan antara
pembiayaan jangka pendek dengan jangka panjang. Masih kecilnya portofolio
pembiayaan sektor produktif perlu mendapatkan perhatian tersendiri, apabila
dihubungkan dengan image bahwa bank syariah adalah bank yang concern terhadap usaha
produktif terutama untuk usaha berskala menengah dan kecil.
Dengan pembiayaan yang berorientasi usaha produktif, dengan jangka waktu yang
relatif tidak panjang, ada peluang bagi bank syariah untuk mereview kebijakan
penentuan besarnya margin dan bagi hasil dari usaha pembiayaannya (pricing
policy). Dengan demikian maka target keuntungan yang diharapkan yang
sebagiannya akan diberikan kepada nasabah dana dapat ditinjau kembali sesuai
kondisi pasar. Apabila di pasaran tingkat bunga di bank nonsyariah naik, maka
expected return yang diwujudkan dalam besar margin dan nisbah bagi hasil atas
pembiayaan yang diberikan dapat dinaikkan. Pembiayaan jangka pendek yang telah
luans, dananya dapat diberikan untuk pembiayaan baru dngan pricing baru.
Bisa diharapkan impact dari strategi portofolio pembiayaan tersebut berkorelasi
dengan pencapaian target funding. Dengan memperbesar pembiayaan sektor
produktif akan membantu bank syariah untuk menjadikan nasabah pembiayaan
sekaligus menjadi nasabah dana lewat aktivitas keuangan di bank syariah (cross
selling). Pilihan untuk memperbesar porsi pembiayaan modal kerja, yang sangat
sesuai dengan skema musyarakah (partnership dengan dasar bagi hasil) juga
merupakan alternatif yang selayaknya mendapat perhatian, mengingat pada umumnya
pembiayaan ini berjangka waktu pendek.
Dengan jangka waktu yang relatif pendek, ada kesempatan bagi bank syariah untuk
meninjau kembali expected returnnya untuk menentukan nisbah bagi hasil ataupun
margin pembiayaan dengan mengamati perkembangan pasar. Sekali lagi hal ini agak
sulit diaplikasikan bagi pembiayaan murabahah (jual beli), yang biasanya
berjangka waktu panjang dan margin sudah terlanjur ditetapkan. Dengan pilihan
untuk memperbesar pembiayaan produktif, terutama untuk modal kerja maka pricing
policy atas pembiayaan relatif bisa ditinjau dengan lebih cepat, di samping
multiplier effectnya akan lebih terasa bagi sektor riel. Dengan kebijakan ini
saja secara otomatis bank syariah memposisikan dirinya sebagai bank yang
berorientasi usaha/produktif.
Segmentasi (pemetaan) pasar dan penentuan target pasar juga harus menjadi
prioritas bank syariah. Jangan sampai hanya atas nama semangat membidik semua
pasar dengan membabi buta, sehingga secara frontal bersaing dengan bank-bank
besar yang telah establish dan menawarkan berbagai macam jasa perbankan yang
mempunyai functional benefit lebih dibanding bank syariah. Pandangan yang tidak
miopik sangat diperlukan oleh manajemen bank syariah. Dengan sumberdaya
terbatas yang dimiliki kejelian menentukan strategi dan konsistensi dalam
aplikasinya, serta komitmen semua pelaku bank syariah merupakan kondisi yang
mutlak diperlukan. Bukankah sebenarnya pasar bank syariah sudah terdefinisikan
dengan cukup jelas lewat nasabah bawaannya? Sumber: Republika
0 Komentar