Kata “syariah”
(asy-syari’ah) telah ada dalam bahasa Arab sebelum Al-Quran. Kata yang semakna
dengannya juga ada dalam Taurat dan Injil. Kata syari’at dalam bahasa Ibrani
disebutkan sebanyak 200 kali, yang selalu mengisyaratkan pada makna “ kehendak Tuhan yang
diwahyukan sebagai wujud kekuasaan-Nya
atas segala perbuatan manusia”.[1]
Kata-kata itu disebutkan
pertama kali dalam kitab Keluaran: “Berfirmanlah Tuhan kepada Musa dan Harun:
Inilah kewajiban (ordinance) mengenai Paskah ... Satu syari’at (law) saja akan
berlaku untuk orang asli dan untuk orang asing yang menetap di tengah-tengah
kamu.” (Kitab Keluaran 12: 43-49). Kemudian disebutkan dalam kitab Imamat,
“Inilah syari’at tentang korban sajian. Anak-anak Harun haruslah membawanya kehadapan
Tuhan ke depan Mezbah” (Kitab Imamat
6:14). “Inilah syariat tentang tentang korban penebus salah. Korban korban itu
ialah persembahan Mahakudus.”[2]
Pada kalam al-Masih yang
ada dalam Injil disebutkan, “Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang bukan
untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk
meniadakannya’ melainkan untuk menggenapinya. Karena Aku berkata kepadamu:
Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini,satu iota atau satu titik
pun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi”. (Matius
5: 17-18).
Kata namus (Taurat) dalam
beberapa teks diartikan sebagai syari’ah, sebagaimana kata anbiya’ (para nabi)
bisa diartikan sebagai risaalaat (risalah-risalah). Oleh karena itu ada teks
yang berbunyi: ”Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan
syari’ah atau risalah-risalah”. Al Masih a.s. bersabda: “Kalian telah
meninggalkan Namus (Taurat) terberat: (yaitu) kebenaran, kasih sayang, dan
keimanan.” Yang dimaksud dengan kata Namus oleh al-masih adalah syari’ah dalam
pengertian yang umum, yang berarti aturan orang-orang yang dekat. Ia juga
diartikan dengan ruh agama dan syari’ah Musa a.s., sebagaimana pemahaman yang
sudah ada sebelum risalahnya (al-masih).[3]
Sedangkan kata syari’ah dalam
al-Qur’an, disebutkan hanya sekali, yaitu pada surat al-Jaatsiyah, “Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas
suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu
dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui” (QS.
Al-Jatsiyah, 45:18).
Kemudian kata itu muncul
dalam bentuk kata kerja (fi’il) dan derivatnya sebanyak tiga kali:
“Dia telah mensyari’atkan
bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang
telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kapada Ibrahim,
Musa, dan Isa ...” (QS. Asy-Syuura, 42:13).
“Untuk tiap-tiap ummat
diantara kamu, Kami berikan aturan (syi’ah) dan jalan”.(QS. Al-Maidah, 5:48).
“Apakah mereka mempunyai
sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang
tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah)
tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu
akan memperoleh azab yang amat pedih”. (QS. Asy-Syuura, 42:21).
Kata syariah berasal dari
kata syara’a al-syai’a yang berarti menerangkan atau menjelaskan sesuatu. Atau,
berasal dari kata syir’ah dan syari’ah yang berarti suatu tempat yang dijadikan
sarana untuk mengambil air secara langsung sehingga orang yang mengambilnya
tidak memerlukan bantuan alat lain[4]
Syekh Al-Qaradhawi,[5] mengatakan cakupan dari pengertian
syari’ah menurut pandangan Islam,
sangatlah luas dan konprehensif (al-Syumul), didalamnya mengandung makna
mengatur seluruh aspek kehidupan, mulai dari aspek ibadah (hubungan manusia
dengan Tuhannya), aspek keluarga (seperti nikah, talak, nafkah, wasiat,
warisan), aspek bisnis (perdagangan, industri, perbankan, asuransi, utang
piutang, marketing, hibah), aspek ekonomi (permodalan, zakat, bait al mal,
fa’i, ghanimah) , aspek hukum dan peradilan, aspek undang-undang, hubungan
antar negara dan sebagainya.
Adapun marketing, adalah
salah satu bentuk muamalah yang dibenarkan dalam Islam, sepanjang dalam segala
proses transaksinya terpelihara dari hal-hal
yang terlarang oleh ketentuan syariah.
Prof Kotler
mendefenisikan marketing sebagai bla bla bla .................................
Defenisi marketing
menurut WMA, bla bla bla ..................................................
Kami
mendefenisi marketing syariah sebagai
sebuah disiplin bisnis strategis yang mengarahkan proses penciptaan ,
penawaran, dan perubahan values dari suatu inisiator kepada stakeholders-nya,
yang dalam keseluruhan prosesnya sesuai dengan akad dan prinsip-prinsip
muamalat (bisnis) dalam Islam (marketing syariah is a strategic business
discipline that directs the process of creating, offering, and changing value
from one initiator to its stakeholders, and the whole process should be in
accordance with muamalah principles in Islam).
Defenisi di
atas, didasarkan pada salah satu ketentuan dalam bisnis Islami yang tertuang
dalam kaidah fiqih yang mengatakan, “al-muslimuuna ‘alaa syuruuthihim illa
syarthan harroma halaalan aw ahalla haraaman” (kaum muslimin terikat dengan
kesepakatan-kesepakatan bisnis yang mereka buat, kecuali kesepakatan yang
mengharamkan yang halal atau menghalalkan
yang haram). Selain itu, kaidah fiqih lain mengatakan “al-ashlu fil muaamalahtil ibahah illah
ayyadulla daliilun ‘alaa tahriimihaa” (pada dasarnya semua bentuk muamalah (bisnis)
boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkan)
Ini artinya
bahwa dalam marketing syariah, seluruh proses, baik proses penciptaan, proses
penawaran maupun proses perubahan nilai (value), tidak boleh ada hal-hal yang bertentangan
dengan akad dan prinsip-prinsip muamalah yang Islami. Sepanjang hal tersebut dapat dijamin, dan
penyimpangan prinsip-prinsip muamalah Islami
tidak terjadi, dalam suatu transaksi atau dalam proses suatu bisnis,
maka bentuk transaksi apapun dalam marketing dapat dibolehkan.
Pada bagian
ini kami ingin mengeksplor apa yang kami maksudkan dengan marketing syariah.
Ada 4 (empat) karakteristik marketing Syariah, yang dapat menjadi panduan bagi
para marketer sebagai berikut:
1. Teistis (Rabbaniyyah)
2. Etis
(Akhlaqiyah)
3. Realistis (Al-Waqiah)
4. Humanistis (Insaniyyah)
1.3.1 Teistis
(Rabbaniyyah)
Kekhasan dari
marketing syariah, yang tidak dimiliki dalam marketing konvensional yang kita
kenal selama ini adalah sifatnya yang religius (diniyyah). Kondisi ini dapat
tercipta tidak karena keterpaksaan, tapi berangkat dari suatu kesadaran akan
nilai-nilai religius, yang dipandang penting dan mewarnai aktifitas marketing
agar tidak terperosok kedalam perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan orang lain.
Jiwa seorang
marketer syariah meyakini bahwa hukum-hukum syariat yang teistis ini adalah
hukum yang paling adil, paling sempurna, paling selaras dengan segala bentuk
kebaikan, paling dapat mencegah segala bentuk kerusakan , paling mampu
mewujudkan kebenaran, memusnahkan kebatilan, dan menyebarluaskan kemaslahatan. Karena merasa cukup akan segala
kesempurnaan dan kebaikannya, dia rela melaksanakannya.
Dari hati
yang paling dalam, seorang marketer syariah meyakini bahwa Allah swt. selalu
dekat dan mengawasinya (waskat) ketika dia sedang melaksanakan segala macam
bentuk bisnis. Dia pun yakin bahwa Allah swt akan meminta pertanggung jawaban
darinya atas pelaksanaan syariat itu pada hari ketika semua orang dikumpulkan
untuk diperlihatkan amal-amalnya (di hari kiamat).
Allah
berfirman, “Barang siapa yang melakukan suatu kebaikan sebesar biji atom
sekalipun, maka dia akan melihatnya. Dan barang siapa yang melakukan suatu
kejahatan sebesar atom sekalipun, maka dia akan melihatnya pula” (QS.
Al-Zalzalah: 7-8)
Seorang
marketer syariah akan segera mematuhi hukum-hukum syariah, dalam segala
aktivitasnya sebagai seorang marketer. Mulai dari ketika ia melakukan strategi
pemasaran, memilah-milah pasar (segmentasi), kemudian memilih pasar mana yang
harus ia harus fokus (targeting) dan ketika ia akan menetapkan apa identitas
perusahaannya harus senantiasa tertanam dalam benak nasabahnya (positioning).
Kemudian, ketika ia harus menyusun taktik
pemasaran, apa yang menjadi keunikan dari perusahannya dibanding perusahaan lain
(differentiation), begitu juga dengan marketing mix-nya, dalam mendesign produk, menetapkan harga,
penempatan, dan dalam melakukan promosi, senantiasa dijiwai oleh nilai-nilai
religius. Ia harus senantiasa menempatkan kebesaran Allah di atas segala-galanya.
Apalagi dalam melakukan proses penjualan (selling) yang sering menjadi tempat
seribu satu macam kesempatan untuk melakukan kecurangan dan penipuan, kehadiran
nilai-nilai religius menjadi sangat penting.
Marketing
syariah sangat concern pula dengan nilai (value). Marketing syariah, haruslah
memiliki value yang lebih tinggi. Ia harus memiliki brand yang lebih baik,
karena bisnis syariah adalah bisnis trust, bisnis berkeadilan, dan bisnis yang
tidak ada tipu muslihat didalamnya. Service merupakan jiwa dalam bisnis syariah, karena itu
Rasulullah pernah mengatakan, “saidul kaum khadimuhum”, perusahaan itu adalah
pelayan bagi customernya. Dan terakhir, dalam hal proses, baik dalam internal
proses, yang akan berdampak pada pelayanan kepada customer, maupun eksternal
proses , seperti proses delivering,
channeling, mudah dijangkau, haruslah menjadi concern marketing syariah.
Marketer
syariah selain tunduk kepada hukum-hukum syariah, ia juga senantiasa menjauhi
segala larangan-larangannya dengan sukarela, pasrah, dan nyaman, didorong oleh bisikan dari dalam, bukan paksaan dari
luar. Oleh sebab itu, jika suatu saat hawa nafsu menguasai dirinya lalu
melakukan pelanggaran terhadap perintah dan larangan syariah, misalnya mengambil
uang yang bukan haknya, memberi keterangan palsu, ingkar janji dan sebagainya,
maka dia akan merasa berdosa, kemudian segera bertaubat dan mensucikan diri
dari penyimpangan yang dilakukan. Ia akan senantiasa memelihara hatinya agar
tetap hidup, dan memancarkan cahaya kebaikan dalam segala aktifitas bisnisnya.
Hati adalah
sumber pokok bagi segala kebaikan dan kebahagiaan seorang. Bahkan, bagi seluruh
makhluk yang dapat berbicara, hati merupakan kesempurnaan hidup dan cahayanya.
Allah berfirman, “Dan apakah orang yang sudah mati, kemudian dia Kami hidupkan
dan Kami berikan kepadanya yang terang, yang demikian cahaya itu dia dapat
berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang
keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari
padanya?” (QS. Al An’am: 122)
Al Imam Ibnul
Qayyim al-Jauziyyah[6], mengatakan ayat ini
mengisyaratkan antara penggabungan kehidupan dengan cahaya. Dengan hidup,
seorang mempunyai kekuatan pendengaran, penglihatan, rasa malu, rasa mulia,
berani, sabar dan sejumlah budi pekerti yang mulia, termasuk juga kecintaannya
kepada segala sesuatu yang baik, dan kebenciannya kepada segala sesuatu yang
buruk. Makin kuat hidupnya, makin kuat pula sifat mulia ini, dan makin melemah hidupnya, maka makin
melemah pula sifat-sifat mulia ini, sehingga tidak malu untuk mengerjakan
berbagai perbuatan buruk.
Hati yang
sehat, yang hidup ketika didekati oleh bergagai perbuatan yang buruk, maka ia
akan menolaknya dan membencinya dengan spontanitas, dan ia tidak condong
kepadanya sedikitpun. Berbeda dengan hati yang mati, ia tidak dapat membedakan
antara yang baik dan dan yang buruk, seperti yang diucapkan oleh Abdullah Ibnu
Mas’ud r.a, “Akan binasa seorang yang tidak mempunyai hati yang dapat
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk”
1.3.2. Etis
(Akhlaqiyah)
Keistimewaan
yang lain dari marketer syariah selain karena teistis (rabbaniyyah), karena ia
sangat mengedepankan masalah akhlak (moral, etika) dalam seluruh aspek
kegiatannya. Kasus Enron, Worlcom, Global Crossing di tingkat dunia, dan kasus
BLBI, Bank Mandiri, KPU, skandal dana DAU Depag, Gubernur Aceh, penyimpangan
dana Di beberapa DPRD, dan ratusan lagi kasus-kasus lainnya belum terbongkar di
negeri ini, terjadi disebabkan karena sudah tidak ada lagi nilai-nilai etika
dan moral yang tertanam didalam dada para pelakunya. Hatinya sudah hitam kelam,
hanya memikirkan kepentingan pribadi tanpa menghiraukan kepentingan rakyat
banyak.
Sifat ini
sebenarnya merupakan turunan dari sifat teistis (robbaniyyah) di atas. Dengan
demikian marketing syariah adalah marketing yang sangat mengedepankan
nilai-nilai moral dan etika, tidak peduli apapun agamanya. Karena nilai-nilai
moral dan etika adalah nilai yang bersifat universal, yang diajarkan oleh semua agama yang
diturunkan oleh Allah swt.
Rasulullah saw
pernah bersabda kepada umatnya; “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan
akhlak yang mulia”, karena itu sudah sepatutnya ini bisa menjadi panduan bagi
marketer syariah, dimana selalu memelihara moral dan etika, dalam setiap tutur
kata, prilaku, dan keputusan-keputusannya.
Sahabat
saya, Nio Gwan Chung ( Muhammad Syafi’i
Antonio)[7] melukiskan hal ini
dengan sangat indah, ia mengatakan; manusia adalah khalifah di muka bumi. Islam
memandang bumi dengan segala isinya merupakan amanah Allah swt kepada sang
khalifah agar dipergunakan sebaik-baik
bagi kesejahteraan bersama.
Untuk
mencapai tujuan suci ini Allah memberikan petunjuk melalui para rasul-Nya.
Petunjuk tersebut meliputi segala sesuatu yang dibutuhkan manusia, baik aqidah,
akhlak (moral, etika), maupun syariah.
Dua komponen
pertama, aqidah dan Akhlak (moral, etika), bersifat konstan. Keduanya tidak
mengalami perubahan apapun dengan berbedanya waktu dan tempat. Sedangkan
syariah senantiasa berubah sesuai dengan kebutuhan dan taraf peradaban ummat, yang berbeda-beda
sesuai dengan rasulnya masing-masing.
Hal ini
diungkapkan oleh Rasulullah saw dalam
suatu hadits:
“Para rasul tak ubahnya
bagaikan saudara sebapak, syariah mereka banyak
tetapi agama (aqidah)nya satu (yaitu mentauhidkan Allah).” (HR. Bukhari,
Abu Daud, dan Ahmad)
Kesungguhan
untuk senantiasa hidup bersih lahir bathin merupakan salah satu cara untuk
meraih derajat kemuliaan disisi Allah.
Dalam al-Qur’an dituturkan, “ ...
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang
yang menyucikan dirinya”. (QS.Al-Baqarah: 222).
Aa’ Gym[8] mengatakan, bagi muslim,
setiap akan melakukan shalat kita diwajibkan untuk bersuci. Bukan hanya suci
tubuh, tapi juga suci pakaian, tempat ibadah, tempat ibadah, bahkan suci hati.
Bagaimana orang akan tenteram dalam shalat jika hatinya lalai, pikirang
‘berkeliling’ ke mana-mana? Suci tubuh dan hati adalah jembatan menuju
kesempurnaan ibadah.
Prinsip
bersuci dalam Islam tidak hanya dalam rangkaian ibadah, namun dapat kita
temukan juga dalam kehidupan sosial sehari-hari. Dalam berbisnis,
berumah-tangga, bergaul, bekerja, belajar, dan lain-lain. Di semua tempat itu,
kita diajarkan bersikap suci. Menjauhkan diri dari dusta, kezaliman, menipu,
khianat, dan bahkan sikap bermuka dua (munafik). Itulah sesungguhnya hakikat
pola hidup bersih sebagai seorang marketer syariah.
1.3.3. Realistis
(al-waqiah)
Marketing
syariah, bukanlah konsep yang eksklusif, fanatisme, dan rigit. Bukan pula
konsep yang kampungan, kaku, dan ‘gak
gaul’. marketing syariah, adalah konsep marketing yang sangat-sangat fleksibel
sebagaimana keluasan dan keluwesan syariah Islamiyyah yang melandasinya.
Marketer
syariah bukanlah marketer yang harus pakai jubah, memanjangkan jenggot, celana
panjang di atas mata kaki (maaf) seperti orang kebanjiran, dan mengharamkan dasi karena simbol barat,
bukan. Marketing syariah tidak harus demikian, marketer syariah adalah para
marketer profesional , dengan penampilan yang bersih, rapi, dan bersahaja,
bekerja sangat dengan profesional, dan mengedepankan nilai-nilai religius,
keshalehan, aspek moral, dan
kejujuran dalam segala aktifitas
marketingnya.
Ia tidak
kaku, tidak eksklusif, tapi sangat fleksibel dan luwes dalam bersikap dan
bergaul. Ia sangat memahami bahwa dalam situasi pergaulan di lingkungan yang
sangat heterogen, dengan beragam suku, agama, dan ras, ada ajaran yang
diberikan oleh Allah swt dan di contohkan oleh nabi untuk bisa bersikap lebih
bersahabat, santun dan simpatik terhadap saudara-saudaranya dari umat lain. Ada
sejumlah pedoman dalam prilaku bisnis yang dapat diterapkan kepada siapa saja
tanpa melihat suku, agama, dan asal usulnya.
Dalam istilah
fiqih disebut kelonggaran (al-‘afw) atau wilayah yang sengaja tidak dijamah
oleh teks. Wilayah ini diisi oleh ijtihad para mujtahid, sesuai dengan masa dan
kondisinya. Namun prinsip-prinsip umum syariah, semangat, dan petunjuk
teks-teks yang muhkam (jelas) harus tetap diperhatikan.
Fleksibilitas
atau kelonggaran (al’afw) sengaja diberikan oleh Allah agar penerapan syariah
senantiasa realistis (alwaqiah) dan dapat mengikuti perkembangan zaman,
sebagaimana sabda Nabi s a w, “Sesungguhnya Allah telah menetapkan
ketentuan-Nya, janganlah kalian langgar. Dia telah menetapkan beberapa perkara
yang wajib, janganlah kalian sia-siakan. Dia telah mengharamkan beberapa
perkara, jaganlah kalian langgar. Dan Dia telah membiarkan dengan sengaja
beberapa perkara sebagai bentuk kasih-Nya terhadap kalian, jangan kalian
permasalahkan”. (HR Al-Daruquthni)
Syekh
al-Qaradhawi[9], dalam menjelaskan
hadits diatas, mengatakan bahwa ungkapan “janganlah kalian permasalahkan” ditujukan kepada para shahabat yang hidup
pada masa turun wahyu, agar di dalam menetapkan kewajiban dan larangan tidak
menambah-nambahkan sesuatu yang memberatkan. Dalam hadis lain disebutkan,
“Biarkan apa yang aku biarkan untuk kalian” (HR Ahmad, Al-Bukhari, Muslim,
Al-Nasa’i. Dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah).
Tentang hal
diatas, Allah berfirman, wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian
menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya
menyusahkanmu dan jika kamu menanyakan di waktu al-Qur’an diturunkan, niscaya akan diterangkan
kepadamu. Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyantun (QS. Al Maidah, 5:101).
Saya (Al Qaradhawi),
menyebut ayat ini sebagai ruang kelonggaran (al-‘afw) karena terinspirasi oleh
sebuah hadis marfu’ yang diriwayatkan oleh Salman yang berbunyi, Apa yang Allah
halalkan dalam kitab-Nya adalah halal. Apa yang Dia haramkan adalah haram. Apa
yang dia diamkan adalah kelonggaran (al-‘afw). Terimalah kelongaran dari Allah
ini karena Dia tidak mungkin melupakan sesuatu. Kemudian,
beliau membacakan ayat, “Tidaklah Tuhanmu berbuat lupa” (HR Al-Bazzar)
Semua ini
menunjukkan bahwa sedikitnya beban dan luasnya ruang kelonggaran bukanlah suatu
kebetulan, melainkan kehendak Allah agar syariah Islam senantiasa abadi dan
kekal sehingga sesuai bagi setiap zaman, daerah dan keadaan apapun.
Dalam sisi
inilah marketing syariah berada, Ia bergaul, bersilaturrahmi, melakukan
transaksi bisnis ditengah-tengah realitas kemunafikan, kecurangan, kebohongan,
penipuan sudah menjadi biasa dalam dunia bisnis. Akan tetapi, Ia berusaha tegar, istiqomah dan
menjadi cahaya penerang di tengah-tengah kegelapan.
1.3.4
Humanistis
(Al-Insaniyyah)
Keistimewaan
marketing syariah yang lain adalah sifatnya yang humanistis universal.
Pengertian humanistis (al-insaniyyah) adalah bahwa syariah diciptakan untuk
manusia agar derajatnya terangkat, sifat kemanusiaannya terjaga dan
terpelihara, serta sifat-sifat kehewanannya dapat terkekang, dengan panduan
syariah. Dengan memiliki nilai humanistis ia menjadi manusia yang terkontrol,
dan seimbang (tawazun), bukan manusia yang serakah, yang menghalalkan segala
cara untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya. Manusia yang bisa bahagia
di atas penderitaan orang lain, manusia yang hatinya kering dengan kepedulian
sosial.
Syariat Islam
adalah syariah humanistis (insaniyyah). Syariat Islam diciptakan untuk manusia
sesuai dengan kapasitasnya tanpa menghiraukan ras, warna kulit, tanah air, dan
status. Hal inilah yang membuat
syariah memiliki sifat universal
sehingga menjadi syariat humanistis universal.
Syariat Islam
bukan syariat bangsa Arab, walaupun Muhammad yang membawanya adalah orang Arab.
Syariat Islam adalah milik Tuhan manusia bagi seluruh manusia..Dia menurunkan
kitab yang berisi syariat sebagai kitab universal, yaitu al-Quran sebagaimana
firmanNya, Mahasuci Allah yang telah
menurunkan al-Furqan kepada hambaNya agar dia menjadi pemberi peringatan kepada
seluruh alam (QS al-Furqan 25 : 1). Ayat pertama dalam al-Quran, setelah
basmalah, adalah Segala puji bagi Allah
Tuhan semesta alam (QS al-Fatihah 1 : 2) dan surah terakhirnya adalah, Katakanlah, aku berlindung kepada Tuhan
manusia. Raja manusia. Sembahan manusia (QS al-Naas 114: 1-3).
Dengan
membawa syariat tersebut, Muhammad diutus sebagai Rasul universal. Dan Kami tidak mengutusmu, melainkan sebagai
rahmat bagi seluruh alam (QS al-Anbiyaa’ 21 :107); Katakanlah, “Wahai manusia,sesungguhnya aku ini adalah utusan Allah
kepada kalian semua (QS al-A’raaf 7 : 158). Yang dimaksud dengan universal
(al-‘alamiyyah) seluruh penduduk planet ini sebagai satu kesatuan yang tidak
terpisah.
Di antara
dalil-dalil sifat humanistis dan universal syariat Islam adalah prinsip
ukhuwwah Islamiyah (persaudaraan antarmanusia). Islam tidak memedulikan semua
faktor yang membeda-bedakan manusia, baik asal daerah,warna kulit, maupun
status sosial.Islam mengarahkan seruannya kepada seluruh manusia, bukan kepada
sekelompok orang tertentu, atas dasar ikatan persaudaraan antarsesama manusia.
Mereka semua adalah hamba Tuhan Yang Esa yang telah menciptakan dan
menyempurnakan mereka.Mereka semua adalah anak dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan (Adam dan Hawa). Status mereka sebagai hamba Tuhan dan anak
Adam telah mengikatkan tali persaudaraan di antara mereka. Allah Swt berfirman,
Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu
yang telah menciptakanmu dari diri yang satu. Dan dari padanya Allah
menciptakan istrinya. Dan dari keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan namaNya kamu
saling meminta satu sama lain. Dan peliharalah hubungan silahturrahmi.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu (QS al-Nisa 4 : 1).
Alangkah
indah kata kasih sayang (al-arhaam) dalam ayat yang ditujukan kepada seluruh
manusia itu. Kata itu mengingatkan mereka tentang satu jiwa yang darinya
tersebar keturunannya. Alangkah indah persaudaraan seluruh manusia yang
ditunjukkan oleh ayat tersebut.
Allah Swt
berfirman, Wahai manusia, sesungguhnya
Kami menciptakanmu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. Dan kami
menjadikanmu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang
paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal (QS al-Hujuraat 49 : 13) .
Ayat ini tidak mengingkari keragaman suku dan bangsa, tetapi menyuruh semua
manusia mengingat asal tempat mereka tumbuh. Mereka juga tidak boleh melupakan
tujuan di balik perbedaan tersebut, yaitu untuk saling mengenal dan menolong,
bukan saling menaklukkan dan memerangi. Saling percaya satu sama lain, bukan
saling curiga. Saling bantu membantu, bukan saling melempar bom. Oleh karena
itu, Rasulullah Saw menyeru seluruh umat manusia agar menjalin persaudaraan,
agar tidak saling mengungguli, dan tidak saling mengganggu. Prinsip
persaudaraan ini dijadikan prinsip utama
risalahnya, sampai-sampai ada riwayat yang menjelaskan bahwa setiap akhir
shalat, Rasulullah Saw berdoa dengan doa yang luas, mendalam dan merangkum
seluruh dakwahnya ini.
“Ya Allah Tuhan kami, Tuhan dan Pemilik
segala sesuatu. Aku bersaksi bahwa Engkau adalah satu-satunya Tuhan. Tidak ada
sekutu bagimu. Ya Allah Tuhan kami, Tuhan dan Pemilik segala sesuatu. Aku
bersaksi bahwa Muhammad adalah hambaMu dan utusanMu. Ya Allah Tuhan kami, Tuhan
dan Pemilik segala sesuatu. Aku bersaksi bahwa seluruh hambaMu adalah
bersaudara” (HR Ahmad dari Zaid ibn Arqam)
Alangkah
indahnya jika doa Rasulullah ini, “...Aku bersaksi bahwa seluruh hambaMu adalah
bersaudara” menjadi ciri dan karakter kita semua dalam segala interaksi dalam
bisnis, dalam bermitra, dalam bersaing secara sehat, dan dalam membangun
kembali bangsa kita yang sudah tercabik-cabik, saling curiga (su’udzan) satu
sama lain, terhasuk oleh provokasi kepentingan-kepentingan kelompok, sehingga tidak jarang nilai-nilai kemanusiaan
kita yang hakiki menjadi hilang.
[1] Encyclopedia Britannica, X, (Micropeadia), hal 49. Saya kutib dari
Muhammad Said Al-Asymawi, Ushul Asy-Syari’ah (Nalar Kritis Syariah), Kairo,
Mesir. 1978
[2] Muhammad Said Al-Asymawi, Ushul As-Syari’ah (Nalar Kritis
Syari’ah), Kairo, Mesir, 1978.
[3] Ibid
[4] Lihat Mu’jam Alfazh al-Qur’an al-Karim, Kairo: majma’ al-Lughah
al-‘Arabiyyah, juz 2, hal 13
[5] Dr. Yusuf al-Qaradhawi, Op., Cit.
[6] Al-Imam Ibnul Qayyim al_Jauziyyah,
Al-Qalbu Bainal Hayaati Wal Mauti, Daarul Wathan, Mesir, 1980
[7] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah
wacana Ulama & Cendikiawan, BI&Tazkia Institute, Jakarta, 1999
[8] KH. Abdullah Gymnastiar, Meraih Bening Hati
Dengan Manajemen Qolbu, Gema Insani, Jakarta, 2002
[9] Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, Op.,cit
0 Komentar