Fiqh dalam bahasa Arab berarti aI-Fahm (pemahaman), sebagaimana
yang bisa kita pahami dari firman Allah SWT.
قالوا ياشعيب مانفقه كثيرا مما تقول....
"Mereka berkata, 'Wahai Syu'aib! Kami tidak banyak mengerti
tentang apa yang engkau katakan itu...." (Huud: 91)
Dan juga,
“Maka mengapa orang-orang itu (orang-orang munafik) hampir-hampir
tidak memahami (yafqahuuna) pembicaraan (sedikit pun)?" (an-Nisaa': 78)
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata fikih adalah ilmu tentang hukum islam. Penulisan dalam KBBI yang benar adalah "fikih", dibeberapa buku ditulis dengan kata "fiqih" ada juga yang menulis dengan kata "fiqh".
Sedangkan menurut terminologi Syariah sebagaimana yang didefinisikan oleh Imam Abu Hanifah r.a. al-Fiqh adalah "Mengetahui hak dan kewajiban diri." Yang dimaksud dengan mengetahui di sini adalah memahami masalah-masalah parsial dengan memahami dalilnya (terlebih dahulu). Dengan kata lain, kata mengetahui di sini berarti kemampuan dalam diri seseorang yang muncul setelah melakukan penelitian-penelitian atas beberapa kaidah.
Definisi ini sangat umum sehingga masalah terkait keyakinan, akhlak, dan tasawuf serta amal-amal praktis masuk di dalamnya. Sehingga permasalahan seperti kewajiban beriman, membersihkan hati, shalat, puasa, jual beli, dan sebagainya masuk dalam definisi ini. Inilah yang dinamakan al-Fiqh ql-Akbar (fiqih yang besar).
Pada masa Abu Hanifah definisi umum seperti ini memang banyak
digunakan. Fiqih sebagai disiplin ilmu tersendiri tidak dapat dipisahkan dari
ilmu-ilmu syara' yang lain. Hanya dikemudian hari, ilmu-ilmu ini terpisah dan
menjadi disiplin ilmu-disiplin ilmu tersendiri: Ilmu kalam (tauhid) khusus
membahas masalah aqidah; ilmu akhlak dan tasawuf membahas masalah intuisi dan
kerja hati seperti zuhud, sabar, ridha, keterlibatan aktif hati ketika shalat
dan lain-lain; dan akhirnya ilmu fiqih hanya membahas masalah hukum-hukum
praktis berkenaan dengan hak dan kewajiban manusia.
Oleh
sebab itu, para pengikut madzhab Hanafi kemudian menambahkan definisi Imam Abu
Hanifah di atas dengan "Mengetahui hak dan kewajiban diri dalam masalah
amaliyah," sehingga pembahasan aqidah dan akhlak tidak lagi masuk
dalam definisi fiqih.
Imam
asy-Syafi'i memberikan definisi lain yang kemudian populer di kalangan ulama yaitu
"Al-ilmu bil Ahkaam asy-Syar'iyyah al-Amaliyyah al-Muktasab min
Adillatiha at-Tafshiiliyyah" (mengetahui hukum-hukum syariah tentang
amalan praktik, yang diperoleh dari (meneliti) dalil-dalil syara' yang
terperinci).
Yang
dimaksud dengan al-'ilmu (pengetahuan) dalam definisi di atas adalah
semua jenis kualitas pengetahuan, baik yang sampai pada tahap keyakinan maupun
yang sebatas sangkaan (zhan).
Adapun
kata al-Ahkaam (hukum-hukum) merupakan bentuk jamak dari al-hukmu
(hukum). Yang dimaksud al-Ahkaam di sini adalah segala tuntutan Tuhan
Yang Membuat aturan syara', atau dengan kata lain perintah dan larangan Allah (khithaabullah)
yang berkenaan dengan perilaku manusia mukallaf, baik dalam bentuk keputusan akhir
(iqtidhaa’), pilihan (takhyiir) ataupun dalam bentuk penetapan
satu hubungan (semisal hubungan sebab akibat dll.) antara satu faktor dengan
faktor lain (wadh'i)
Dari
definisi di atas juga dapat disimpulkan, bahwa yang hendak diketahui dalam ilmu
fiqih adalah masalah hukum bukannya zat, sifat, ataupun pekerjaan itu sendiri.
Sedangkan
asy-syar'iyyah berasal dari kata asy-syar'u. Dengan adanya kata ini,
maka hukum benda yang dirasakan (seperti matahari terbit), hukum logika
(seperti satu adalah separuh dari dua atau universal lebih luas daripada
parsial), hukum lingusitik (seperti subjek dalam bahasa Arab harus dibaca raf),
atau hubungan antara dua variabel baik positif atau negatif seperti Zaid
berdiri atau Zaid tidak berdiri) tidak termasuk yang dimaksudkan oleh definisi
tersebut.
Kata
'amaliyyah (amalan praktikal) dalam definisi di atas berarti semua amal
baik batiniah maupun lahiriah, sehingga pekerjaan hati seperti niat dan
pekerjaan anggota badan seperti membaca dan shalat masuk dalam definisi
tersebut.
Adapun
kata al-muktasab (yang diperoleh) dalam definisi tersebut merupakan keterangan
terhadap kata ilmu yang disebut lebih dulu. Maksudnya adalah, ilmu penyimpulan
hukum (isthinbaath) yang diperoleh setelah melakukan proses berpikir dan
ijtihad.
Sedangkan
yang dimaksud dengan al-adillah at-tafshiliyyah (dalil-dalil syara' yang
terperinci) adalah dalil-dalil yang bersumber dari Al-Qur'an, sunnah, ijma, dan
qiyas. Oleh karena itu, ilmu yang dimiliki oleh orang-orang yang bertaklid
kepada imam-imam madzhab tidak termasuk kategori ini.
Pada perkembangan selanjutnya, ilmu fiqih sesuai dengan keterangan imam az-Zarkasyi dalam kitab al-Qawaa’id didefinisikan dengan, "Mengetahui hukum amalan-amalan yang bersifat atribut (al-hawaadits) berdasarkan nash syara' dan juga penyimpulan hukum (istinbaath) menurut salah satu madzhab dari beberapa madzhab yang ada." Adapun objek kajian ilmu fiqih adalah semua pekerjaan manusia mukallaf dari perspektif dituntut atau tidaknya pekerjaan tersebut.
Sehingga, menurut kajian fiqih, pekerjaan tersebut adakalanya dituntut untuk dilakukan oleh seorang mukallaf seperti melakukan shalat, atau dituntut untuk ditinggalkan seperti sikap marah, dan ada juga yang hanya sekadar pilihan seperti pekerjaan makan. Sedangkan yang dimaksud dengan orang mukallaf adalah orang yang sudah baligh, mempunyai akal sehat, dan pekerjaan-pekerjaannya menjadi objek tuntutan syara'. Referensi: Buku Fiqh Islam wa Adillatuhu Jilid 1 Karya Syekh Wahbah az-Zuhaili
0 Komentar