Kita dianjurkan mencari Lailatul
Qadar, sebab ia adalah malam yang mulia, penuh berkah, dan amat agung. Ada
harapan doa terkabul pada malam tersebut. Ia adalah malam yang paling utama,
bahkan melebihi malam Jumat.
Allah Ta'ala berfirman,
لَيْلَةُ
الْقَدْرِ خَيْرُ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ
"Malam kemuliaan itu
lebih baik daripada seribu bulan." (al-Qadr: 3)
Artinya, shalat tahajud dan amal
lain pada malam tersebut lebih baik daripada amal dalam seribu bulan yang tidak
berisi malam kemuliaan tersebut. Nabi saw. bersabda,
مَنْ
قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدِّمَ
مِنْ ذَنْبِهِ
"Barangsiapa menunaikan
shalat Tahajud pada Malam Kemuliaan dengan penuh keimanan dan keinginan untuk
mendapat pahala dari Allah, niscaya diampuni dosanya yang telah lampau."(
Diriwayatkan oleh Bukhari, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan an-Nasa'i dari Abu
Hurairah)
Diriwayatkan dari Aisyah bahwa
apabila telah tiba sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, Nabi saw. biasanya menghidupkan
malam, membangunkan keluarganya, dan menjauhi hubungan sebadan dengan istri.
(Muttafaq'alaih-Nailul Authaar 4/270)
Dalam riwayat Ahmad dan Muslim
disebutkan, bahwa Nabi saw. biasanya semakin giat beribadah pada sepuluh hari
terakhir melebihi malam-malam lain.
Malam Kemuliaan terdapat pada
sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, khususnya pada malam-malam gasal.
Sebab, Nabi saw. pernah bersabda,
الْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ شَهْرِ
رَمَضَانَ في
كُلّ وِثْرٍ
"Carilah Malam Kemuliaan
itu pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, terutama setiap malam gasal/ganjil."(
Muttafaq 'alaih, dari riwayat Abu Sa'id al-Khudri dan Abu Dzar)
Pendapat yang paling kuat adalah
bahwa Lailatul Qadar itu bertepatan dengan malam tanggal 27 Ramadhan. Ubai bin
Ka'ab berkata, "Demi Allah, sebetulnya Ibnu Mas'ud tahu bahwa Lailatul
Qadar itu bertepatan dengan malam tanggal 27 di bulan Ramadhan. Hanya saja, dia
tidak mau memberitahukannya kepada kalian. Sebab, dia tidak ingin kalian
menggantungkan harapan kepada amal pada malam itu saja." (Diriwayatkan
oleh at-Tirmidzi dan dinyatakannya shahih.)
Diriwayatkan dari Mu'awiyah bahwa
Nabi saw. pernah bersabda tentang Lailatul Qadar, "(la bertepatan
dengan) malam tanggal 27"( Diriwayatkan oleh Abu Dawud secara marfu.
Kemungkinan terbesarnya adalah riwayat ini mauquf dari Muawiyah, tapi riwayat
ini berstatus marfu'-Subulus Salaam 2/176)
Ini diperkuat dengan perkataan
Ibnu Abbas, "Surah al-Qadr terdiri atas tiga puluh kata, dan kata yang
ke-27 adalah hiya (malam itu). (Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Baarii, “Ada
empat puluh pendapat tentang malam keberapa sebetulnya Lailatul Qadar itu.
Pendapat yang paling kuat adalah Lailatul Qadar jatuh pada malam gasal di
sepuluh hari terakhir, hanya saja dia berubah-ubah setiap tahun."
Sementara itu, ash-Shanʼani berkata, "Pendapat yang paling kuat adalah
Lailatul Qadar jatuh pada tujuh hari terakhir,”)
Ahmad meriwayatkan sebuah hadits
dari Ibnu Umar dengan sanad yang shahih, "Barangsiapa ingin mendapat
Lailatul Qadar, hendaknya dia mencarinya pada malam tanggal 27." Atau
dia berkata, "Carilah Lailatul Qadar pada malam tanggal 27."
Ada hikmah tersendiri mengapa
tidak dijelaskan malam keberapa Lailatul Qadar itu, yaitu agar kaum
Muslimin berusaha mencarinya, bersungguh-sungguh dalam beribadah, dengan
harapan mendapatkan malam kemuliaan tersebut. Hal ini sama dengan tiadanya
penjelasan tentang waktu terkabulnya doa di hari Jumat, tiadanya penjelasan
tentang yang mana sebetulnya nama-Nya yang paling agung di antara nama-nama-Nya,
keridhaan-Nya kepada amal-amal kebajikan, dan sebagainya.
Dianjurkan seorang mukmin berdoa
begi- ni pada malam tersebut, "Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha
Pemaaf dan suka memaafkan. Karena itu, maafkanlah kesalahanku." Hal
ini didasarkan atas riwayat Aisyah, bahwa dia pernah bertanya, "Wahai
Rasulullah, jika kebetulan saya berjumpa Lailatul Qadar, doa apa yang sebaiknya
saya ucapkan pada saat itu?" Beliau bersabda,
قُولِي اللَّهُمْ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ
عَنِّي
"Ucapkan, 'Ya Allah,
sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf dan suka memaafkan. Karena itu, maafkanlah
kesalahanku."" (Diriwayatkan oleh lima perawi hadits (Ahmad dan para
pengarang kitab Sunan) kecuali Abu Dawud. Hadits ini dinyatakan shahih oleh
at-Tirmidzi dan al-Hakim)
Adapun tentang tanda-tanda
Lailatul Qadar, yang masyhur adalah yang diriwayatkan oleh Ubai bin Ka'ab dari
Nabi saw.,
إِنَّ الشَّمْسَ تَطْلُعُ فِي صَبِيحَةٍ يَوْمِهَا بَيْضَاءَ
لَا شُعَاعَ لَهَا
"Matahari terbit pada
pagi hari itu putih tanpa sinar."( Diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, Abu
Dawud, serta at-Tirmidzi, dan ia menyatakannya shahih (Nailul Authaar 4/272).)
Dalam sebagian hadits dikatakan,
بَيْضَاءَ مِثْلَ الطَّسْتِ
"...putih, berbentuk
seperti baskom."
Dalam riwayat lain dari Nabi
saw.,
إِنَّ أَمَارَةَ لَيْلَةِ الْقَدْرِ أَنَّهَا صَافِيَةٌ
بَلْجَةٌ كَأَنَّ فِيهَا فَمَرًا سَاطِعًا سَاكِنَةٌ سَاجِيَةٌ لَا بَرْدَ فِيهَا
وَلَا حَرَّ وَلَا يَحِلُّ لِكَوْكَبٍ أَنْ يُرْمَى بِهِ فِيهَا حَتَّى تُصْبِحَ
وَإِنَّ أَمَارَتَهَا أَنَّ الشَّمْسَ صَبِيْحَتَهَا تَخْرُجُ مُسْتَوِيَةً،
لَيْسَ لَهَا شُعَاعٌ مِثْلَ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ وَلَا يَحِلُّ
لِلشَّيْطَانِ أَنْ يَخْرُجَ مَعَهَا يَوْمَئِذٍ
"Pertanda Lailatul Qadar
adalah malam itu cerah bagaikan ada bulan yang bersinar; suasana malam itu
tenang, tidak dingin dan tidak panas; serta bintang tidak dipakai untuk melempari
setan sampai pagi hari. Pertanda lainnya adalah matahari terbit pada pagi hari-
nya dengan bulat, tidak memancarkan sinar, seperti bulan purnama. Pada hari itu
setan tidak diizinkan keluar."
Ibnu Khuzaimah meriwayatkan
hadits marfu' dari Ibnu Abbas,
لَيْلَةُ الْقَدْرِ طَلْقَةٌ لَا حَارَّةٌ وَلَا بَارِدَةٌ
تُصْبِحُ الشَّمْسُ يَوْمَهَا حَمْرَاءَ
ضَعِيفَةً
"Malam
Lailatul Qadar itu cerah, tidak panas dan tidak dingin. Pada paginya matahari
berwarna merah dan bersinar lemah."
Dalam hadits Ubadah yang
diriwayatkan Ahmad,
لا حَرَّ فِيْهَا وَلَا بَرْدَ
وَإِنَّهَا سَاكِنَةٌ صَاحِيَةٌ وَقَمَرُهَا
سَاطِعٌ
"Malam itu tidak panas
dan tidak dingin. Malam itu tenang dan cerah, dan bulannya bersinar
terang."
Ada beberapa hadits mengenai
tanda-tanda Lailatul Qadar, antara lain hadits Jabir bin Samurah yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, hadits Jabir bin Abdullah dan Abu Hurairah
yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, hadits Ibnu Mas'ud yang diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Syaibah, dan lain-lain. (Nailul Authaar 4/275)
Referensi: Kitab Fikih Islam wa Adillatuhu
Syekh Wahbah az-Zuhaili Kitab Puasa, Fikih Sunnah Sayyid Sabiq Kitab Puasa
0 Komentar